INDONESIA MENGGUGAT




Bung Karno Menggugat! Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal '65 hingga G30S, Dr Baskara T Wardaya SJ, Galang Press, Yogyakarta, I: Februari 2006, 297 halaman
BUNG Karno merupakan salah satu founding fathers yang berapi-api melawan kolonialisme, kapitalisme, dan elitisme. Kolonialisme Belanda dan Jepang telah terbukti menyengsarakan kehidupan rakyat Indonesia.
Hal serupa juga terjadi pada kapitalisme. Kapitalisme berwatak eksploitatif karena yang kaya menari-nari di atas keringat yang miskin. Andai Bung Karno masih hidup, ia akan menolak aneka bentuk kapitalisme yang beroperasi di negeri ini.
Bung Karno juga menolak elitisme karena dianggap memperlebar jurang status sosial di antara sesama anak bangsa. Penolakan Bung Karno terhadap elitisme, setidaknya tercermin dalam kenekatannya menggunakan bahasa Jawa ngoko ketika berorasi di rapat tahunan Jong Java di Surabaya, Februari 1921. Ia melihat struktur bahasa Jawa dengan 'kromo' dan 'ngoko'-nya telah melegitimasi stratifikasi sosial dalam masyarakat.
Buku Bung Karno Menggugat! memaparkan kritisisme Bung Karno dalam melihat realitas sosial bangsanya. Meski demikian, aneka evaluasi kritis terhadap gagasan-gagasan segar Bung Karno dapat ditemukan di dalam karya Baskara T Wardaya ini.
Menurut penulisnya, kritisisme Bung Karno itulah yang berhasil mengundang simpati publik sehingga dirinya dipercaya sebagai orang nomor wahid pertama negeri ini.
Mengikuti Jurgen Habermas, kritisisme selalu mengimplikasikan keberpihakan. Ketika berusia 20 tahun, keinginan besar Bung Karno untuk memperjuangkan nasib bangsanya sudah kian memuncak. Pada usia itu, Bung Karno terbiasa bolos kuliah. Hal itu bukan didorong oleh hasrat bermalas-malas, melainkan iktikad baik untuk lebih mengenal bangsanya secara langsung. Biasanya, dia jalan-jalan di daerah Bandung Selatan.
Seperti yang dielaborasi Baskara T Wardaya, pada salah satu kesempatan membolos itulah Bung Karno bertemu dengan petani bernama Marhaen. Petani itu memiliki alat-alat produksi sendiri dan tidak berada di bawah kekuasaan pemilik pabrik yang represif, tetapi tetap saja miskin.
Bung Karno menilai yang dialami Marhaen merupakan representasi mayoritas petani nusantara. Mereka miskin karena mereka dijajah bangsa asing (hlm 29).
Buku yang dilengkapi dengan dokumen-dokumen penting dan bersejarah ini membeberkan pula dinamika politik internasional yang ikut menentukan berbagai tindakan Presiden Soekarno, baik di dalam ataupun di luar negeri. Ketegangan Perang Dingin antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat (AS) dan Blok Timur pimpinan Uni Soviet dengan cepat menyeruak masuk ke Indonesia.
Takut Indonesia menjadi negara komunis, karena dekat dengan Blok Timur dan pesatnya perkembangan PKI, AS lalu mengintervensi secara langsung dinamika politik Indonesia. Keterlibatan AS mendorong Washington untuk memanfaatkan CIA sebagai pelaksana lapangan. Melalui dukungan terhadap pemberontakan PRRI dan Permesta, CIA merobohkan legitimasi pemerintah pusat di Jakarta. Meski demikian, usaha CIA pun kandas di tengah jalan.
Lebih dari itu, Baskara mengkritik buku Antonie CA yang sudah diindonesiakan menjadi Sukarno File: Berkas-Berkas Sukarno 1965-1967, Kronologi Suatu Keruntuhan (Aksara Karunia, 2005). Dake dianggap mendewakan pertanyaan siapa dalang G30S tahun 1965. Seperti diketahui, Dake berpendapat bahwa Bung Karno-lah yang menjadi dalang peristiwa G30S/1965.
Merujuk kepada buku Roland Challis (2001), Shadow of a Revolution, diketahui adanya peran AS dalam G30S/1965 dan rangkaian pembunuhan massal sepanjang tahun 1965-1966. Menurut Challis, sejak awal tahun 1960-an Dinas Intelijen AS (CIA) sudah giat menginfiltrasi eselon atas Angkatan Darat (AD). Selanjutnya, CIA menjatuhkan pilihan pada salah seorang perwira oportunis untuk kemudian membantunya dalam menjalankan kudeta bertahap.
Dalam dokumen berkategori special report 23 Oktober 1964, misalnya, CIA khawatir jika Bung Karno masih hidup beberapa tahun lagi, akan menjadi pemimpin sebuah rezim komunis. Kekhawatiran itu terus berlanjut dan tercermin dalam dokumen serupa tertanggal 26 Januari 1965, ketika CIA makin mengkhawatirkan usaha Bung Karno untuk memotong kepentingan AS sambil membuka peluang bagi PKI guna mengambil alih pemerintahan.
Keterlibatan AS dalam pembunuhan massal akhir 1965 hingga awal 1966, juga sulit dimungkiri. Challis menyebut kembali apa yang pernah ditulis Kathy Kadane di koran San Francisco Examiner, 20 Mei 1990, serta Washington Post edisi 21 Mei 1990, yakni perihal tindakan CIA menyerahkan suatu daftar kepada pihak AD berisi nama orang-orang komunis yang harus dibunuh. Agen-agen CIA di Jakarta waktu itu diprediksikan memberikan daftar sekitar 5.000 orang komunis yang wajib disingkirkan. Dari sini terlihat, PKI hanyalah korban dari konspirasi politik tingkat atas.
Previous
Next Post »